SEJARAH AWAL
KASUS BAIL OUT BANK CENTURY
Awal mula terjadinya
kasus Bank Century adalah mengalami kalah kliring pada tanggal 18 November
2008. Kalah kliring adalah suatu terminologi yang dipahami oleh semua
masyarakat untuk menggambarkan adanya defisit suatu bank. Sementara kliring itu
sendiri adalah pertukaran data keuangan elektronik antar peserta kliring baik
atas nama peserta atau klien yang mereka peroleh pada waktu tertentu.
Pada tahun 2005, Bank
Indonesia menunjuk Bank abad dan melaporkan Bank Century kepada Bapepam-LK.
Tetapi itu tidak pernah ditindak lanjuti oleh Bapepam-LK, dan Bank Century pun
masih terus melakukan penjualan reksa dana fiktif. Kemudian pada tahun 2006,
Bank Indonesia melaporkan lagi Bank Century kepada Bapepam -LK tentang catatan
transaksi penjualan reksa dana dan arus kas di Bank Century.
Setelah 13 November
2008, pelanggan Bank Century tidak dapat mengambil atau melakukan transaksi
dalam bentuk devisa, tidak dapat melakukan kliring, bahkan untuk mentransfer
pun tidak mampu. Bank hanya dapat melakukan transfer uang ke tabungan. Jadi
uang tidak bisa keluar dari bank. Hal ini terjadi pada semua pelanggan Bank
Century.
Nasabah merasa
dikhianati dan dirugikan karena mereka banyak menyimpan uang di Bank tersebut.
Pelanggan mengasumsikan bahwa Bank Century memperjualbelikan produk investasi
ilegal. Alasannya adalah investasi yang dipasarkan oleh Bank Century tidak
terdapat di Bapepam-LK. Dan manajemen Bank Century pun mengetahui bahwa produk
investasi yang mereka jual adalah ilegal. Hal tersebut menimbulkan kerugian
yang sangat besar bagi nasabah Bank Century, dan uang para nasabah pun tidak
dapat dicairkan.
Kasus Bank Century memiliki dampak yang sangat
besar terhadap bank-bank lainnya dan mempengaruhi tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap sistem perbankan nasional menjadi menurun. Kasus yang dialami Bank Century tidak hanya
berdampak pada perbankan Indonesia, tetapi juga berdampak pada perbankan dunia.
Jakarta – Mantan Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi Antasari Azhar membuka fakta baru yang mencengangkan. Fakta itu
berkaitan dengan langkah penyelamatan Bank Century yang diduga merugikan
keuangan negara sebesar Rp 6,7 triliun. Kasus Bank Century itu sendiri
pernah menghebohkan perpolitikan nasional. Apalagi hasil audit forensik Badan
Pemeriksa Keuangan menunjukkan adanya kejanggalan dari langkah penyelamatan
terhadap Bank Century.
Namun, meski begitu kuat bau korupsi dari langkah penyelamatan
Bank Century, tidak mudah untuk membawanya ke ranah hukum. Padahal secara
politik Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan adanya
pelanggaran dari langkah penyelamatan yang dilakukan pemerintah.
Sejauh ini hanya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang harus
menjadi korban. Ia harus terpental dari kabinet, meski beruntung masih mendapat
tempat terhormat di Bank Dunia. Padahal ia sempat mengaku merasa tertipu oleh
keputusan untuk menyelamatkan Bank Century.
Meski kasus dugaan korupsi pada langkah penyelamatan Bank Century
ini terus dicoba untuk ditutupi, namun tuntutan agar skandal tersebut
diungkap tidak pernah berhenti. Masyarakat tetap berharap kebenaran dari kasus
yang merugikan keuangan negara itu terus diungkap.
DPR sendiri membentuk tim pengawas untuk mengikuti perkembangan
kasus tersebut. Secara rutin tim pengawas bertemu dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi, Kepolisian, dan Kejaksaan untuk mengetahui perkembangan proses
penyelidikan dan pemeriksaan kasus Bank Century.
Sampai sejauh ini ketiga lembaga penegak hukum tersebut mengaku
belum bisa menemukan unsur korupsi dari kasus penyelamatan Bank Century. Seakan
ada pintu tebal yang tidak mampu ditembus sehingga semuanya tampak begitu
gelap.
Pengakuan yang disampaikan Antasari dalam program “Metro Realitas” (Kamis,
09 Agustus 2012), menguak lagi adanya bau busuk dari penyelamatan Bank Century.
Pengakuan ini bahkan luar biasa
karena ternyata langkah penyelamatan itu dibahas dalam rapat di ruang kerja
Presiden. Rapat itu sendiri tidak pernah diungkap di publik. Padahal salah
satu yang dibahas dalam rapat tersebut adalah berkaitan dengan Bank Century.
Artinya skenario langkah
penyelamatan Bank Century yang akhirnya menjadi skandal dugaan mega korupsi
itu diketahui oleh Presiden SBY, dan bahkan Presiden SBY sendiri
memberikan arahan untuk penyelesaiannya.
Semua tentunya kembali kepada pihak DPR RI dan juga lembaga
penegak hukum. Seberapa jauh mereka ingin mencari kebenaran dan menegakkan
keadilan. Kasus
skandal dugaan mega korupsi Bank Century ini merupakan persekongkolan kejahatan
yang luar biasa apabila sampai dibahas secara khusus di dalam Istana, namun
sengaja tidak pernah diungkapkan kepada publik.
SBY Berbohong!!
Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) yang mengatakan bahwa dirinya tidak pernah dimintai arahan dan keputusan
terkait kebijakan pemberian dana talangan (bailout) kepada Bank Century senilai
Rp6,7 triliun, adalah nyata-nyata sebuah kebohongan besar. Padahal, Sri Mulyani
(Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan/KSSK kala itu) telah memperingati SBY
sebanyak tiga kali.
Anehnya, dalam pidato tanggal 4 Maret 2010, atau sehari sesudah
pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna DPR RI tentang kasus bailout Bank
Century, Presiden SBY menyatakan bahwa dirinya tengah di luar negeri untuk
menghadiri KTT G20 di Amerika Serikat. “Sekali lagi, disaat pengambilan keputusan itu, saya sedang berada di
luar negeri. Saya memang tidak dimintai keputusan dan arahan. Saya juga tidak
memberikan instruksi atas pengambilan kebijakan tentang ihwal itu, antara lain
karena pengambilan keputusan KSSK berdasarkan Perpu No 4/2008 memang tidak
memerlukan keterlibatan presiden,” tandas SBY, kala itu.
Tiga kali surat
dari Sri Mulyani untuk SBY :
1.
Berawal dari surat Bank Indonesia kepada Menteri Keuangan selaku
ketua KSSK Sri Mulyani, yang diparaf oleh Gubernur BI (kala itu) Boediono
tertanggal 20 November 2008, menyatakan perkembangan terakhir dari Bank Century
bahwa CAR-nya minus 3,53 persen (-3,53%). Dengan begitu bank tersebut tak layak
menerima dana talangan, dan Bank Century dinyatakan sebagai bank gagal
berdampak sistemik.
Mendapat penjelasan dari BI,
selanjutnya Sri Mulyani mengirim surat kepada Presiden SBY tanggal 25 November
2008 dengan nomor surat S-01/KSSK/.01/2008. Surat tersebut merupakan surat
peringatan pertama kepada SBY.
Dalam surat peringatan pertama
itu, juga dilampirkan notulen rapat KSSK tanggal 21 November 2008, notulensi
rapat tertutup KSSK pada tanggal yang sama yang dihadiri oleh Boediono dan Sri
Mulyani selaku Menteri Keuangan. Juga dilampirkan keputusan KSSK No
04/KSSK.03/2008 tentang penetapan PT Bank Century sebagai bank gagal yang
berdampak sistemik serta keputusan penyerahan Bank Century ke LPS.
2. Surat
peringatan kedua dari Sri Mulyani kepada SBY dikirim tanggal 4 Februari 2009
dengan nomor surat SR-02/KSSK.01/II/2009. Bahkan dalam surat peringatan kedua
ini yang ditembuskan kepada Menteri Sekretaris Negara, Ketua Dewan Komisioner
LPS dan Sekretaris KSSK, Sri Mulyani mencantumkan CAR (Rasio Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum) Bank Century (Negatif 3,53%) secara jelas.
3.
Lantaran tak ada tanggapan dari Presiden SBY, Sri Mulyani kembali
mengirim surat kepada SBY setelah SBY terpilih menjadi presiden bersama
Boediono, tepatnya tanggal 29 Agustus 2009. Nomor surat itu adalah
SR-36/MK.01/2009.
Dalam surat ketiga itu, Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan
kembali merujuk kepada surat pertama dan kedua dengan kalimat pembuka yang tak
lazim yang juga ditembuskan kepada Menteri Sekretaris Negara, Gubernur Bank
Indonesia, Ketua Dewan Komisioner LPS dan Sekretaris Jenderal Departemen
Keuangan.
Apabila keterangan Antasari dan kronologis
surat Menkeu Sri Mulyani tersebut terbukti benar adanya, maka hal itu secara
otomoatis menjadi bukti bahwa Presiden SBY telah melakukan kebohongan publik
terkait keterlibatannya dalam mega skandal maling uang rakyat dalam kasus Bank
Century. Berdasarkan bukti-bukti itu (kalau ternyata benar), maka tanpa
menunggu selesainya proses hukum Bank Century, DPR sebetulnya sudah bisa
mengambil langkah politik berupa ‘Hak Interpelasi’, ‘Hak Angket’, dan ‘Hak
Menyatakan Pendapat’ yang lazimnya berujung pada sidang paripurna DPR/MPR untuk
tindakan pemakzulan presiden.
Referensi
:
0 komentar:
Posting Komentar