Di Indonesia marak sekali diberitakan tentang
kasus-kasus korupsi di berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari yang berjabatan
rendah dengan korupsi kecil-kecilan hingga kasus korupsi para politikus dengan
jumlah yang miliaran bahkan triliunan. Di Indonesia ini melakukan korupsi bukan
hal yang tabu lagi malah sudah menjadi kebiasaan yang hampir mendarah daging,
hal ini sudah seperti lingkaran setan yang sulit diselesaikan, karena satu
kasus saja sudah menyangkut banyak pelaku bila diusut dengan tuntas.
Salah satu upaya memberantas
korupsi yaitu dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi, atau disingkat
menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia
yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi
di Indonesia.
Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada periode
2006-2011 KPK dipimpin bersama oleh 4 orang wakil ketuanya, yakni Chandra Marta Hamzah, Bibit Samad Rianto, Mochammad Jasin, dan Hayono Umar, setelah Perpu
Plt. KPK ditolak oleh DPR. Pada 25 November 2010, M. Busyro Muqoddas terpilih menjadi ketua KPK
setelah melalui proses pemungutan suara oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Dilanjutkan lagi oleh Abraham Samad sejak 2011.
Setelah adanya KPK apakah masalah korupsi selesai ??
tidak makin banyak saja kasus korupsi yang ada dan penyelesaiannya masih
menggantung dan belum tuntas. "Perbaikan
sistem untuk pemberantasan korupsi belum menggembirakan," kata Kuntoro di
Jakarta, Kamis (03/01). Menurutnya ada 5 faktor yang berkontribusi pada lemahnya
pemberantasan korupsi. 5 Faktor Tersebut Adalah:
1. Belum rampungnya pembahasan RUU Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
2. Belum selesainya revisi UU Tindak
Pidana Korupsi.
3. Belum dipertimbangkannya LHKPN
(Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) dan LHA PPATK
dalam seleksi pejabat strategis di instansi penegak hukum.
4. Belum digunakannya instrumen hukum
perampasan aset dalam putusan perkara tindak pidana korupsi.
5. Masih buruknya koordinasi lembaga
pengawas eksternal maupun internal di berbagai lembaga pemerintah.
Upaya-upaya
hukum yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak dan
sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat
negara mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan yang
pada akhirnya menjadi krisis multidimensi. Gerakan reformasi yang
menumbangkan rezim Orde Baru menuntut antara lain ditegakkannya supremasi hukum
dan pemberantasan Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut
akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 &
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penye-lenggaraan Negara yang Bersih
& Bebas dari KKN. Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan
sebagai tindak korupsi. Namun secara ringkas tindakan-tindakan itu bisa
dikelompokkan menjadi:
·
Kerugian keuntungan
Negara
·
Suap-menyuap (istilah
lain : sogokan atau pelicin)
·
Penggelapan dalam
jabatan
·
Pemerasan
·
Perbuatan curang
·
Benturan kepentingan
dalam pengadaan
·
Gratifikasi (istilah
lain : pemberian hadiah).
Rakyat kecil
yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi dan memberikan sanksi
pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang paling menyedihkan adalah
sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin meluasnya praktik-praktik korupsi
oleh be-berapa oknum pejabat lokal, maupun nasional.
Kelompok
mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan de-monstrasi.
Tema yang sering diangkat adalah “penguasa yang korup” dan “derita rakyat”.
Mereka memberikan saran kepada pemerintah untuk bertindak tegas kepada para
korup-tor. Hal ini cukup berhasil terutama saat gerakan reformasi tahun 1998.
Mereka tidak puas terhadap perbuatan manipulatif dan koruptif para pejabat.
Oleh karena itu, mereka ingin berpartisipasi dalam usaha rekonstruksi terhadap
masyarakat dan sistem pemerintahan secara menyeluruh, mencita-citakan keadilan,
persamaan dan kesejahteraan yang merata. Mewujudkan keseriusan pemerintah
dalam upaya memberantas korupsi, Telah di keluarkan berbagai kebijakan. Di
awali dengan penetapan anti korupsi sedunia oleh PBB pada tanggal 9 Desember
2004, Presiden susilo Budiyono telah mengeluarkan instruksi Presiden Nomor
5tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan
secara khusus Kepada Jalsa Agung Dan kapolri :
·
Mengopimalkan upaya-upaya penyidikan / penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi untuk pelaku dan menyelamatkan uang Negara.
·
Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap
penyalahgunaan wewenang yang di lakukan oleh jaksa (penuntut umum) / anggota
polri dalam rangka penegakan hukum.
·
Meningkatkan kerjasama antara kejaksaan dengan
kepolisian Negara RI.
Ada berbagai
kasus korupsi di Indonesia dari orde lama, orde baru, reformasi sampai sekarang
ini. Padahal pemerintah sudah membuat Undang-Undang dan berbagai aturan hukum
lainnya tapi tidak berhasil memberantas korupsi. Maka, pemerintah diharapkan
dapat bekerjasama dengan masyarakat dan awak media untuk memberantas dan
menanggulangi korupsi di Indonesia.
Sebaiknya
dilakukan proses penanaman (sosialisasi dan internalisasi ) nilai-nilai anti
korupsi atau Budaya Anti Korupsi (BAK). Proses tersebut dilakukan melalui
proses pendidikan yang terencana, sistematis, terus menerus dan terintegrasi,
sejak usia dini hingga ke perguruan tinggi. Demikian juga sosialisasi dan
internalisasi nilai anti korupsi tersebut dilakukan kepada seluruh komponen masyarakat
dan aparatur pemerintah di pusat dan daerah, lembaga tinggi negara, BUMN, BUMD,
sehingga nilai sosial anti korupsi atau Budaya Anti Korupsi (BAK) menjadi
gerakan nasional dan menjadi kebiasaan hidup seluruh komponen bangsa Indonesia,
menuju kehidupan yang adil makmur dan sejahtera.
Referensi :
3. http://wiwitna.blogspot.com/2013/03/upaya-pemberantasan-korupsi-di-indonesia.html
0 komentar:
Posting Komentar